a. kepribadian anak masih luwes,belum menemukan banyak masalh
hidup,mudah terbentuk dan masih akan banyak mengalami perkembangan.
b. orang tua murid sering berhubungan dengan guru dan mudah dibentuk
hubungan tersebut,orang tua juga aktif pendidikan anaknya disekolah.
c. masa depan anak masih terbuka sehingga dapat belajar mengenali diri
sendiri dan dapat menghadapi suatu masalah dikemudian hari.
Bimbingan tidak hanya pada anak yang bermasalah melai8nkan pandangan
bimbingan dewasa ini yaitu menyediakan suasana atau situasi perkembangan
yang baik,sehingga setiap anak di sekolah dapat terdorong semangat
blejarnya dan dapat mengembangkan pribadinya sebik mungkin dan terhindar
dari praktik-praktik yang merusak perkembangan anak itu sendiri.
2. kesiapan disekolah dasar
Konsep psikologi belajar mengenai kesiapan belajar menunjukan bahwa
hambatan pendidikan dapat timbul jika kurikulum diberikan kepada anak
terlalu cepat/terlalu lambat,untuk menghadapi perubahan dan perkembangan
pendidikan yang terus menerus perlu adanya penyuluhan untuk menumbahkan
motivasi dan menciptakan situasi balajar dengan baik sehingga diperoleh
kreatifitas dan kepemimpinan yang positif pada aktrifitas melalui
penyuluhan kepada orang tua dan murid.
B. Bimbingan Konseling di Sekolah Mengah
Tujuan pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi
mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai
Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri.
Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum
menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta
didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja.
Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi
akan melulu memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya
dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di
jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses pembentukan
pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan
nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura
personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran
di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling
(BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang
sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi,
ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner
siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi
label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai
“musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal. merujuk pada rumusan Winkel
untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat
mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan
belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri
dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang
maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya,
serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah
dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang
mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK
didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan
pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan
para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala
sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan
hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib.
Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor
yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan
hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran
demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward
atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam
tindakan hukum-menghukum.
Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan
orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda
di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan,
dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika
melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan
atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang
memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen
kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan
vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan
pribadi-pribadi yang tidak seimbang.
BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan.
Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang
membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat
setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan,
sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat
mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka
dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.
Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang
ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri.
Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor
atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji
buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar
keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika
tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan
jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas
konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa
pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.
BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari
ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah
sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai.
Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang
disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan
toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba
menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh
harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang
ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya
tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua
itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah menengah dan semua
pihak yang terlibat didalam proses kependidikan.
a. kepribadian anak masih luwes,belum menemukan banyak masalh
hidup,mudah terbentuk dan masih akan banyak mengalami perkembangan.
b. orang tua murid sering berhubungan dengan guru dan mudah dibentuk
hubungan tersebut,orang tua juga aktif pendidikan anaknya disekolah.
c. masa depan anak masih terbuka sehingga dapat belajar mengenali diri
sendiri dan dapat menghadapi suatu masalah dikemudian hari.
Bimbingan tidak hanya pada anak yang bermasalah melai8nkan pandangan
bimbingan dewasa ini yaitu menyediakan suasana atau situasi perkembangan
yang baik,sehingga setiap anak di sekolah dapat terdorong semangat
blejarnya dan dapat mengembangkan pribadinya sebik mungkin dan terhindar
dari praktik-praktik yang merusak perkembangan anak itu sendiri.
2. kesiapan disekolah dasar
Konsep psikologi belajar mengenai kesiapan belajar menunjukan bahwa
hambatan pendidikan dapat timbul jika kurikulum diberikan kepada anak
terlalu cepat/terlalu lambat,untuk menghadapi perubahan dan perkembangan
pendidikan yang terus menerus perlu adanya penyuluhan untuk menumbahkan
motivasi dan menciptakan situasi balajar dengan baik sehingga diperoleh
kreatifitas dan kepemimpinan yang positif pada aktrifitas melalui
penyuluhan kepada orang tua dan murid.
B. Bimbingan Konseling di Sekolah Mengah
Tujuan pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi
mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai
Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri.
Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum
menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta
didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja.
Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi
akan melulu memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya
dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di
jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses pembentukan
pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan
nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura
personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran
di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling
(BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang
sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi,
ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner
siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi
label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai
“musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal. merujuk pada rumusan Winkel
untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat
mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan
belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri
dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang
maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya,
serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah
dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang
mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK
didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan
pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan
para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala
sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan
hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib.
Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor
yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan
hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran
demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward
atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam
tindakan hukum-menghukum.
Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan
orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda
di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan,
dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika
melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan
atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang
memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen
kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan
vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan
pribadi-pribadi yang tidak seimbang.
BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan.
Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang
membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat
setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan,
sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat
mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka
dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.
Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang
ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri.
Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor
atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji
buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar
keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika
tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan
jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas
konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa
pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.
BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari
ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah
sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai.
Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang
disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan
toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba
menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh
harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang
ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya
tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua
itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah menengah dan semua
pihak yang terlibat didalam proses kependidikan.
Sumber;
http://psikonseling.blogspot.com/2009/01/perlunya-bimbingan-dan-konseling-di.html